The Power of Sepi


SEPI tidak selalu berarti kosong. Sepi tidak senantiasa tanpa makna. Justru, dalam sepi terkandung banyak hal. Dalam sepi tersirat berjuta arti.
Karena itu, manusia Bali tak pernah memandang remeh sepi, tak menganggap kecil kosong. Manusia Bali justru menempatkan sepi sebagai bagian yang paling vital. Karena, semuanya bermula pada sepi. Berakhir pula pada sepi.
Kesadaran inilah yang mendasari lahirnya hari suci Nyepi sebagai tanda dimulainya tahun baru Saka yang sudah mentradisi di Bali. Ketika fajar awal tahun mulai terbit, manusia Bali menyambutnya dengan menyepi diri; tidak bepergian keluar rumah, tidak bekerja, tidak menghibur diri dan tidak menyalakan api. Semuanya tunduk khusyuk menyelami sepi, membaca-baca diri untuk menemukan kesejatian sang Diri.
Inilah tradisi unik dan otentik peninggalan leluhur Bali yang sulit ditemukan di belahan dunia yang lain. Sebuah ritual paradoksal dalam menandai pergantian tahun, memang. Ketika manusia atau etnis dari bagian lain di dunia ini menandai pergantian tahun nya dengan sumringah riah pesta, Bali justru sebaliknya. Bali memilih beristirahat total, memberi jeda sang waktu.

Kini, manakala kehidupan tanpa sekat jarak dan waktu menebarkan begitu banyak kekalutan akibat persaingan hidup yang tiada henti, manusia dari berbagai belahan bumi ini justru amat merindukan sepi, sunyi. Mereka rindu untuk berhenti sejenak, membebaskan diri dari geliat untuk terus dan terus menginjak gas dalam perjalanan dunia yang teramat panjang dan melelahkan ini. Mereka rindu untuk mengembalikan diri ke titik nol kilometer, mengumpulkan kembali energi untuk memenangkan persaiangan dalam hidup dan kehidupa ini.
Namun, sepi, sunyi bukanlah sekadar sebuah pelampiasan atas segala kepenatan. Sunyi, sepi juga adalah sebuah ruang yang merangsang lahirnya ide-ide baru, kehidupan baru yang lebih baik.
Orang-orang besar dengan hasil cipta atau temuannya yang gemilang dan bermanfaat bagi umat manusia juga memulainya dari sepi, sunyi. Albert Einstein yang kini menjadi ikon kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, berhasil merumuskan gagasan teori relativitas setelah menyelami keheningan dalam sebuah peristiwa keci: jatuhnya buah apel dari pokoknya. Begitu pula Thomas Alva Edison menemukan bola lampu justru di tengah keheningan dan kegelapan.
Janganlah dibilang lagi para kawi di masa lalu yang berhasil menyuratkan karya sastra mahaagung ketika bersedia bersenggama dengan sunyi, sepi, hening dan heneng. Mereka sangat menghargai dan telah pula mengajari betapa sunyi mesti diselami dengan kedalaman hati. Sunyi atau sepi tak semata dijadikan sarana untuk menuju tetapi juga tujuan itu sendiri. Mpu Panuluh atau pun Mpu Tanakung, dua pujangga besar negeri ini berabad silam dengan amat bersahaja mengguratkan sunyi dan sepi sebagai puncak tujunya. Melalui jalan kekawin, jalan sastralah puncak itu digapai.
Karena itu, tradisi nyastra para kawi senantiasa menggambarkan sebuah pencarian tiada henti kepada sepi. Karena itu pula, kekawin-kekawin tiada pernah obah melukiskan keindahan gunung, laut dan pantai dengan kekentalan nuansa sepinya. Selanjutnya di wilayah sepi, di kerajaan sunyi inilah sang kawi menolong diri sendiri, membebaskan sang diri.
Sampai di sini, Nyepi bukanlah sebuah keterpaksaan, melainkan sebuah kebutuhan hidup. Karena itu, beruntunglah Bali yang sudah mewarisi tradisi Nyepi sejak bearabad-abad silam. Karena sepi sesungguhnya sebuah kekuatan, sebuah power yang sangat dahsyat. Tinggal kearifan kita memaknainya.

sumber: http://pojok-bali.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar