Tenganan Pagringsingan yang Teguh Menjaga Tradisi


Ketika membincang tentang kebudayaan masyarakat Bali Aga, orang biasanya tak akan lupa menengok sebuah desa kuno di wilayah Kabupaten Karangasem ini. Di antara sejumlah desa-desa Bali Aga yang masih bertahan, Tenganan Pegringsingan memang tergolong masih cukup berhasil menjaga keasliannya. Karenanya, Tenganan Pegringsingan pun kerap menjadi ikon dalam perbincangan mengenai kebudayaan masyarakat Bali Aga.

Orang sudah terlampau mengenal Tenganan Pegringsingan, memang. Terlebih lagi desa ini ditetapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karangasem sebagai salah satu objek wisata andalan. Karenanya, saban hari wisatawan, baik domestik maupun mancanagera mengunjungi desa ini.

Orang yang hendak mengunjungi desa ini dari Denpasar mesti menempuh perjalanan sekitar 70 kilometer ke arah timur. Tiba di Candi Dasa, Anda belok menuju ke utara sekitar 3 kilometer. Setelah melewati Desa Pesedahan Anda akan melihat papan ucapan selamat datang di Desa Tenganan.

Tenganan Pegringsingan sejatinya satu di antara sejumlah desa pakraman yang masuk dalam wilayah pemerintahan dinas Desa Tenganan. Desa-desa pakraman lainnya yakni Tenganan Dauh Tukad, Gumang, Bukit Kangin dan Bukit Kauh. Desa Pakraman Tenganan Pegringsingan sendiri terdiri dari tiga banjar yakni Banjar Kauh di bagian barat, Banjar Tengah di tengah-tengah serta Banjar Kangin/Pande di bagian timur.
Desa Tenganan Pegringsingan berada di sebuah lembah dan diapit oleh bukit dengan luas wilayah mencapai 917.200 ha. Karena letaknya seperti itu, Desa Tenganan Pegringsingan dibuat berundak atau terasering dengan posisi makin ke selatan makin rendah. Tujuannya tentu saja untuk menghidari kikisan air hujan. Di dalam desa juga dibuat saluran limbah atau utilitas lingkungan yang terencana dengan baik seperti adanya boatan, teba pisan dan paluh menuju sungai.

Pemukian di desa ini berpetak-petak lurus dari utara ke selatan dengan luas pekarangan yang sama yakni 2,342 are. Masing-masing rumah dihuni satu keluarga. Tiap-tiap leret rumah dibelah oleh sebuah jalan tanah yang disebut sebagai sebagai awangan. Awangan ini dibatasi oleh sebuah sekolan air.
Ada tiga awangan di desa ini. Ada awangan barat, awangan tengah dan awangan timur. Awangan tengah dan timur lebih kecil, kira-kira setengah dari lebar awangan di barat. Awangan barat kerap menjadi pusat keramaian tiap kali dilaksanakan upacara keagamaan atau adat.

Struktur pembagian tata ruang desa mengikuti konsep Tapak Dara yakni pertemuan antara arah angin kaja-kelod (utara-selatan) yang merupakan simbol segara-gunung (laut-gunung) dan arah matahari kangin-kauh (timur-barat). Pertemuan kedua arah itu dipersepsikan sebagai perputaran nemu gelang (seperti lingkaran) dengan porosnya berada di tengah-tengah. Orang Tenganan Pegringsingan mengenalnya dengan istilah maulu ke tengah atau berorientasi ke tengah-tengah. Maknanya, mencapai keseimbangan melalui penyatuan bhuwana alit (manusia dan karang paumahan atau pekarangan rumah) dengan bhuwana agung (pekarangan desa).

Perkampungan dikelilingi tembok bak benteng pertahanan. Lawangan atau pintu masuk desa berada di keempat penjuru. Orang Tenganan Pegringsingan menyebut konsep penataan ruang desanya itu sebagai Jaga Satru (berjaga dari serangan musuh).
Penduduk Desa Adat Tenganan Pegringsingan hingga tahun 2005 tercatat 215 kepala keluarga (KK) atau 661 jiwa. Umumnya masih berpendidikan SD dan SMP. Namun, sudah banyak juga warga Tenganan Pegringsingan yang mengenyam pendidikan tinggi dan meraih gelar sarjana.

Aktivitas keseharian warga Tenganan Pegringsingan yakni bertani atau pun menekuni usaha kerajinan. Tenganan Pegringsingan memiliki lahan tegalan yang cukup luas yakni 583,035 ha (sekitar 66,41 persen dari luas desa) serta lahan sawah seluas 255,840 ha (25,73 dari luas desa). Lahan itu ada yang digarap sendiri, tetapi umumnya digarap oleh orang luar dan warga Tenganan Pegringsingan hanya menerima hasilnya.
Usaha kerajinan yang ditekuni orang Tenganan Pegringsingan berkaitan erat dengan keberadaan desa ini sebagai desa wisata. Ada yang menenun dengan produksi unggulan kain geringsing, ada yang membuat atta, membuat lontar serta aneka cenderata untuk wisatawan.

Kisah Orang-orang Peneges
Lahirnya Desa Tenganan Pagringsingan berkaitan erat dengan kisah orang-orang Desa Paneges memburu kuda Raja Bedahulu. Desa Paneges diyakini berada di daerah Bedulu, Gianyar, dekat dengan Pura Goa Gajah kini.
Diceritakan, Raja Bedahulu memiliki kuda kesayangan yang bernama Kuda Once Srawa. Tatkala akan melaksanakan yadnya atau upacara, kuda sang Raja menghilang. Padahal, kuda ini bakal digunakan sebagai hewan korban dalam upacara tersebut.
Untuk mencari Kuda Once Srawa, Raja Bedahulu pun menugasi para patih dan prajuritnya yang disebar ke segala arah. Orang-orang Paneges mendapat tugas mencari kuda itu ke arah Timur.

Ternyata, rombongan orang-orang Paneges ini berhasil menemukan kuda sang Raja. Kuda tersebut ditemukan di sebuah hutan lebat yang dikelilingi bukit-bukit kecil. Hanya, yang menyedihkan, kuda yang dikeramatkan itu ditemukan dalam keadaan sudah mati. Tidak diketahui sebab-sebab kematiannya. Tiada bekas luka, tida pula tanda-tanda penyakit.

Penemuan Kuda Once Srawa yang sudah mati itu pun dilaporkan kepada Raja Bedahulu. Sang Raja tentu saja bersedih hati. Namun, raja bijaksana itu tetap menghargai jasa-jasa orang-orang Paneges itu. Sebagai hadiah, mereka diberi kekuasaan atas tempat ditemukannya mayat kuda tersebut dengan luas sejauh bau busuk bangkai kuda itu bisa dicium.

Namun, orang-orang Paneges itu cukup cerdik juga. Bangkai kuda itu pun dipotong-potongnya dan potongan-potongan itu dibawa berkeliling ke segenap penjuru, sehingga wilayah kekuasaan orang-orang Peneges menjadi lebih luas. Sampai akhirnya terdengar sabda dari Dewa Indra, “Sudah cukup!”. Perluasan wilayah pun dihentikan. Tempat terdengarnya sabda Tuhan itu disebut Pengulap-ulapan dan belakangan menjadi sebuah pura dengan nama Pura Batu Madeg karena diyakini sebagai tempat pertama kalinya Ida Batara ngadeg (berdiri).

Di tempat-tempat diletakkannya potongan bangkai kuda itu pun didirikan tempat pemujaan dengan tanda atau simbol berupa batu. Di bagian utara Tenganan Pagringsingan terdapat candi yang menggambarkan kemaluan kuda berdiri tegak. Warga Desa Tenganan Pegringsingan menyebutnya sebagai Kaki Dukun. Tak jauh dari Kaki Dukun terdapat bentuk monolit terbesar yang disebut dengan nama Batu Taikik. Warga Tenganan menganggap ini sebagai bekas cercahan isi perut Kuda Once Srawa. Ada juga Rambut Pule yang berupa onggokan batu-batu kali yang tersusun sedemikian rupa yang dipercayai sebagai bekas kepala kuda.

Di bukit sebelah barat, ada peninggalan yang diyakini sebagai bekas paha kuda dan disebut Penimbalan. Terakhir, di bukit barat laut terdapat Batu Jaran yang diyakini sebagai tempat pertama kalinya Kuda Once Srawa ditemukan.

Awalnya, wilayah yang ditempati orang-orang Peneges itu sampai di pesisir Pantai Ujung. Ini tersurat dalam lontar Usana Bali maupun Prasasti Ujung. Namun, karena terkena abrasi air laut yang parah dan serangan ikan hiu, orang-orang ini pun pindah ke tengah. ingga kini antara warga Tenganan dan Ujung masih memiliki hubungan. Saat dilaksanakan upacara di Pura Segara Ujung, warga Tenganan bakal tangkil.

Perihal nama Tenganan masih belum jelas benar karena ada beberapa versi. Seorang peneliti, R. Goris menyatakan kata Tenganan sudah ditemukan dalam salah satu prasasti Bali dengan kata Tranganan. Kata ini kemudian berkembang menjadi Tenganan.
Peneliti lainnya, V.E. Korn menyebut Tenganan berasal dari kata ngatengahang (bergerak ke tengah). Ini berkaitan dengan cerita berpindahnya warga Tenganan dari pesisir Pantai Ujung mencari tempat lebih ke tengah.
Versi lainnya menyebut Tenganan berasal dari tengen (kanan). Ini berkaitan dengan cerita warga Tenganan berasal dari orang-orang Paneges. Paneges berarti pasti atau tangan kanan.

Kain Gringsing
Ciri khas Desa Tenganan tentu saja kain tenun ikat yang disebut kain gringsing. Karena itu pula, nama desa ini lebih dikenal dengan Desa Tenganan Pegringsingan. Ini untuk membedakannya dengan Desa Tenganan Dauh Tukad atau pun Tenganan sebagai desa dinas.

Tidak diketahui secara pasti kapan kain gringsing mulai muncul di Tenganan Pegringsingan. Tiada diketahui pula siapa yang pertama kali memperkenalkan kerajinan menenun kain ini di Tenganan Pegringsingan.

Yang jelas, menurut Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Tenganan, I Nyoman Nuja, kain gringsing mengandung makna sebagai semacam penolak bala. Ini jika dlihat dari kata gringsing yang berasal dari kata gering yang artinya ‘wabah’ dan sing yang artinya ‘tidak’. Dengan begitu gringsing berarti ‘terhindar dari wabah’.
Namun, Nuja menduga, pada masa kerajaan Bali Kuna dulu kain gringsing diproduksi juga di daerah-daerah lainnya. Hanya saja, hingga saat ini hanya di Tenganan kerajinan tenun kain ini masih terjaga.

Kain gringsing ini sendiri terbilang unik, otentik dan kini amat langka. Benang yang dipakai untuk menenun kain ini berasal dari kapas Bali asli. Selain bahannya yang langka, proses pembuatan kain ini juga terbilang amat rumit. “Bisa dibutuhkan waktu sampai sepuluh tahun untuk bisa menghasilkan selembar kain gringsing berkualitas bagus,” tutur Nuja.

Mula pertama, kapas Bali dipintal menjadi benang. Kemudian, benang itu dibalutkan lalu dicelup untuk mendapatkan warna-warna tertentu. Pewarnaannya sendiri menggunakan warna alam. Warna kuning sebagai warna dasar dibuat dari minyak kemiri. Setelah itu, benang kembali dililitkan untuk dibuat warna biru dari taum (indigo). Setelah berwarna biru, benang itu direndam ke pewarna merah yang terbuat dari akar sunti –satu tanaman yang hanya bisa tumbuh bagus di Nusa Penida— dan kihip selama tiga hari. Selanjutnya, dicuci dan dijemur minimal tiga bulan. Proses ini kembali diulang-ulang hingga tercapai warna yang sebagus-bagusnya dengan warna terakhir yakni hitam. Proses pewarnaan inilah yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Menurut Penglingsir Desa Adat Tenganan Pegringsingan lainnya, Jro Mangku Widia, ada sejumlah motif kain gringsing yakni lubeng, wayang putri, wayang kebo, cecempakan, cemplong, dingding sigading, dingsing ai, pepare, pat likur, pedang dasa, semplang, cawet, anteng dan lainnya. Motif-motif itu sendiri penuh dengan simbol-simbol seperti tapak dara (tanda silang) dan lainnya.

Karena proses pembuatannya yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama, harga selembar kain gringsing pun sangat mahal. Untuk ukuran selendang saja harganya sekitar Rp 350.000. Bila lebih lebar lagi, harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
“Kain gringsing saya yang sudah robek-robek saja harganya mencapai Rp 25.000.000. Kalau yang utuh, pasti lebih mahal,” tutur Nuja.

Kain gringsing kerap digunakan sebagai pakaian adat saat upacara berlangsung. Saat Usaba Sambah yang jatuh tiap bulan kelima menurut penanggalan Tenganan –biasanya jatuh pada bulan Juni-Juli—para daha teruna (muda-mudi) wajib mengenakan kain gringsing. Kain gringsing inilah yang membuat para generasi muda Tenganan itu tampak bersahaja saat menari Rejang Abuang.

“Awig-awig” dari Abad ke-11
Terjaganya tatanan tradisional kehidupan masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan tak terlepas dari keberadaan awig-awig (aturan adat) yang sangat dihormati dan ditaati warga desa ini. Konon, menurut penuturan para penglinsgir (tetua) desa ini, awig-awig Desa Adat Tenganan dibuat pada abad XI, pada awal-awal desa ini mulai didirikan.

Oleh warga Tenganan Pegringsingan, awig-awig itu dikenal dengan nama “Buku Sakti”. Tebalnya sekitar 58 halaman dan ditulis dalam bahasa Bali.
Namun, seperti diceritakan Mangku Widia, pada hari Kamis Kliwon, Wara Warigadean, Sasih Kadasa, tahun 1763 Saka atau 1841 Masehi Desa Adat Tenganan Pegringsingan mengalami musibah kebakaran hebat. Tak hanya pekarangan desa, tempat-tempat suci, Pura Puseh, Bale Agung hingga surat awig-awig dan surat pamancanggah (riwayat desa) juga ikut terbakar.

Setelah kebakaran, warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan menghadap Raja Karangasem, I Gusti Gde Anglurah Karangasem. Kedatangan warga Tenganan ini untuk mohon izin menghadap kepada Raja Klungkung untuk memohon surat awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang tersimpan di Puri Agung Klungkung.

Raja Karangasem mengizinkan. Bersama I Gde Gurit, orang-orang Tenganan Pegringsingan pun menghadap Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Putra.
Sang Raja agung ternyata menyebutkan di Puri Agung Klungkung tidak ada lagi perihal Desa Tenganan Pegringsingan itu. Awig-awig atau pun surat pamancanggah itu dikatakan sudah diambil oleh orang Tenganan Pegringsingan sendiri.
“Namun, aku izinkan kalian orang Desa Tenganan untuk menulis kembali awig-awig di desa Tenganan sejauh yang bisa kalian ingat” Begitu titah Raja Klungkung.
Titah Raja Klungkung ini kemudian disampaikan orang Tenganan kepada Raja Karangasem. Raja Karangasem pun mempersilakan warga Tenganan menulis kembali awig-awig desanya itu.

Warga Tenganan pun berembuk untuk menulis kembali awig-awig desanya. Untuk penyusunan peraturan itu, warga Tenganan meminta bantuan I Gde Gurit dan Made Gijanjar dengan dimohonkan oleh mangku di bale agung.

“Awig-awig hasil penulisan kembali itu selesai ditulis pada hari Jumat Pahing, Wara Pahang, Sasih Kapat tahun 1764 atau sekitar 1842 Masehi” tutur Mangku Widia.
Pada tahun 1925, awig-awig itu juga masih disempurnakan lagi. Awig-awig hasil penulisan kembali itu masih ditulis dalam bahasa Bali. Namun, terjadi penambahan pasal. Jika sebelumnya berjumlah 58 pasal, awig-awig terbaru memuat 61 pasal. Perihal terbakarnya Desa Tenganan Pegringsingan dan penyuratan kembali awig-awig tersebut diceritakan dalam pasal 24.
Begitulah, awig-awig Desa Tenganan yang telah tersurat sejak berabad-abad silam. Jauh sebelum desa-desa adat lainnya di Bali mengenal istilah penyusunan awig-awig.

Kepemimpinan “Ulu-Apad”
Umumnya, di desa-desa Bali Kuno, penentuan pemimpin adat sangatlah khas. Penentuan pemimpin adat di Tenganan Pegringsingan juga memiliki keunikan tersendiri. Jika di desa-desa adat lainnya di Bali pemimpin desa atau bendesa (ketua) adat dipilih oleh krama (warga), di Tenganan Pegringsingan pemimpin desa ditentukan berdasarkan senioritas.

“Kepemimpinan desa memang tidak dipilih. Bukan juga karena faktor keturunan, bukan keahlian serta tidak memakai masa jabatan. Namun, berdasarkan senioritas yakni nomor urut perkawinannya di desa,” kata Mangku Widia yang juga sebagai Sekretaris Desa Tenganan.

Pemerintahan adat bersifat kolektif. Ada tiga struktur utama pemimpin desa. Pertama disebut Luanan. Ini merupakan penasihat atau penglingsir desa yang diisi oleh keluarga yang memiliki nomor urut perkawinan 1-5. Luanan biasanya hadir ketika sudah selesainya persiapan rapat atau suatu acara.

Struktur kedua yakni Bahan Roras. Posisi Bahan Roras ini terbagi menjadi dua yakni Bahan Duluan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 6-11 dan Bahan Tebenan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 12-17. Bahan Duluan merupakan pelaksana pemerintahan sehari-hari, perencana, pelaksana atau pucuk pimpinan. Pasangan keluarga nomor urut 6-7 disebut dengan nama Tamping Takon (tampi artinya ‘menerima’ dan takon artinya ‘pertanyaan’) yang bertugas untuk menampung atau menjawab segala macam pertanyaan dari krama desa. Sementara keluarga dengan nomor urut-12-17 disebut dengan Bahan Tebenan. Tugasnya sebagai pembantu atau cadangan Keliang Desa.

Struktur terakhir Peneluduan. Lapisan ini merupakan keluarga dengan nomor urut perkawinan 18 dan seterusnya. Seorang dari Peneluduan tampil sebagai Saya atau Juru Warta secara bergiliran setiap bulan. Peneluduan ini pun dibagi lagi menjadi dua yakni Tambalapu Duluan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 18-23 sebagai penggerak dalam segala kegiatan dan Tambalapu Tebenan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 24-29 sebagai cadangan atau pengganti.
Jika seorang Bahan Duluan meninggal dunia atau anaknya menikah, tidak serta merta posisinya digantikan sang anak. Posisi itu akan diisi oleh keluarga di nomor urut berikutnya. Sementara anak Bahan Duluan itu masuk sebagai krama desa dengan nomor urut terbaru.

Enam orang anggota Bahan Duluan secara keseluruhan berperan sebagai Keliang Desa. Dalam keseharian, gabungan Bahan Duluan dengan Bahan Tebenan dengan anggota yang berjumlah 12 orang yang disebut Bahan Roras bertugas sebagai Penyarikan (sekretaris). Tugas sebagai Penyarikan ini dipegang setiap anggota secara bergantian, satu orang setiap bulan.

Sementara gabungan antara Tambalapu Duluan dengan Tambalapu Tebenen yang berjumlah 12 orang disebut Tambalapu Roras, bertugas sebagai Saya Arah atau Juru Warta. Pembagian tugasnya adalah tiap empat orang anggota secara bergantian setiap bulan, mengerjakan tugas sebagai Saya Arah. Kelompok tugas yang lain disebut Peneluduan yang terdiri dari lima orang anggota, mempunyai tugas menjemput anggota Luanan yang berjumlah lima orang untuk mengikuti rapat atau sangkepan di Bale Agung.
Pemerintahan desa adat sehari-hari di Desa Adat Tenganan Pegringsingan dipimpin oleh Bahan Duluan dibantu oleh seorang Penyarikan dan empat orang Saya Arah.

sumber: www.beritabali.com

0 komentar:

Posting Komentar