Pura Besakih: Hulu Bali yang tiada Henti Bersaksi


PURA Besakih pekan-pekan ini kembali menyedot perhatian umat Hindu di Bali. Bertepatan dengan Purnama Kadasa, Sabtu (19/3) mendatang, kembali dilaksanakan Karya Batara Turun Kabeh. Inilah ritual tahunan yang dipersepsikan sebagai momentun mendoakan semesta alam agar tetap degdeg, landuh.
Secara spritual, Pura Besakih diyakini sebagai hulu Bali. Namun, secara historis Pura Besakih merupakan saksi sejarah yang paling setia. Pura ini menjadi saksi penting perjalanan panjang sejarah Bali.
Pura yang terletak di lereng Gunung Agung ini disebut-sebut sebagai pura terbesar. Fox dalam buku Pura Besakih menyebutkan Pura Besakih sekarang adalah gugusan 86 buah pura. Terdiri dari 18 pura umum, 4 pura catur lawa, 11 padharman, 6 pura non-padharman, 29 pura dadia, 7 pura berkaitan dengan pura dadia dan 11 buah pura lainnya.
Gugusan pura yang demikian banyak itu mengindikasikan Pura Besakih tidak dibangun sekaligus. Pura ini dibangun melalui proses yang panjang, berabad-abad, sepanjang perjalanan agama Hindu di Bali.
Hingga kini belum terurai jelas kapan sejatinya Pura Besakih mulai didirikan. Sumber-sumber tradisional menyebut pura ini didirikan oleh Maharsi Markandeya. Menurut mitologi, awalnya Markandeya menuju Gunung Tolangkir atau Gunung Agung mengajak 800 orang pengikutnya. Dengan tujuan untuk membuka pemukiman, para pengikutnya pun merabas hutan. Tak dinyana, banyak pengikutnya meninggal dunia terkena penyakit atau dimakan binatang buas.
Berikutnya, Sang Rsi kembali mengajak pengikut sebanyak 400 orang dari Desa Aga, Jawa Timur. Kedatangannya yang kedua kali ini sukses setelah sang yogin menghaturkan upacara, memohon ke hadapan Ida Batara. Karena sukses, di tempat merabas hutan itulah kemudian Maharsi Markandeya menanam kendi berisi air dan lima unsur logam seperti perak, emas, tembaga, besi dan perunggu yang dikenal dengan istilah Pancadatu lengkap dengan sarana sesajen. Tempat penanaman panca datu itu kemudian diyakini sebagai tempat berdirinya Pura Besakih. Besakih berasal dari kata basuki yang berarti selamat.
Namun, sejumlah pakar menduga awal didirikan, Pura Besakih bukanlah pura jagat, bukan pula pusat ritual serta bukan yang terbesar. Kemungkinan, kala itu Besakih hanya berwujud pura alit tempat pemujaan leluhur raja-raja yang berkuasa, sebagaimana gunung dikonsepsikan sebagai tempat bersemayamnya pada leluhur.
Memang, Dr. Goris dalam penelitiannya yang dikutip IB Agastya dalam tulisan "Belajar dari Sejarah Pura Besakih" berkesimpulan bahwa letak yang saat ini disebut sebagai pura di Besakih pada zaman prasejarah merupakan limah berundag. Konsep spiritual dari kebudayaan zaman prasejarah memang ditandai dengan pemungsian tempat tinggi sebagai tempat pemujaan. Makin tinggi suatu tempat, makin suci.
Perkembangan fungsi dan fisik Pura Besakih, usai Dharma Palguna, terjadi dalam perjalanan waktu selanjutnya. Perkembangan itu ditentukan oleh strategi pembangunan spiritual kala itu atau pun karena alasan alam. Di antara demikian banyak perkembangan fisik Pura Besakih, pendirian padmasana tiga sebagai sthana Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa dapat dibaca sebagai puncak perkembangannya dalam konteks agama. Padmasana tiga itu, selain menempatkan Pura Besakih sebagai kahyangan jagat, juga sebagai tanda Siwaisme yang mendapat tempatnya di Bali.
Sampai di sini bisa ditarik simpulan Pura Besakih memang menjadi saksi sejarah penting perkembangan Bali dari konteks spiritual. Dari tempat inilah bisa diketahui bagaimana perjalanan panjang agama Hindu di Bali.
Tak hanya itu, secara politik, sosial dan kultural, Pura Besakih menjadi pusat orientasi dari zaman ke zaman. Pada zaman Raja Sri Kesari Warmadewa (913 M), Besakih menjadi tempat sembahyang untuk raja-raja silsilah Warmadewa. Diduga, pada zaman Anak Wungsu (1049-1077), Besakih juga memiliki fungsi yang sama. Tradisi ini kemungkinan dilanjutkan oleh raja-raja Gelgel atau kemudian Klungkung.
Pada masa Belanda, Besakih sempat diabaikan. Sampai akhirnya terjadi gempa bumi dahsyat 21 Januari 1917 yang ikut merusak bangunan Pura Besakih. Sejak kejadian itu, perhatian kembali dipusatkan ke Pura Besakih. Bersama raja-raja Bali, pemerintah kolonial kembali membangun Pura Besakih. Setelah kemerdekaan RI, Pura Besakih tanggung jawab terhadap Pura Besakih dibebankan kepada negara yakni pemerintah Bali.
Begitulah Pura Besakih merentang perjalanan sejarah Bali. Sebagai hulu Bali, Pura Besakih memang paling setia bersaksi mengikuti perkembangan sejarah Bali.

0 komentar:

Posting Komentar