WINE SALAK, IKON SOUVENIR KHAS KARANGASEM KATROL HARGA SALAK

Salak yang harganya kerap jatuh saat musim raya kini terbuka solusi dengan mengolah menjadi produk wine salak, sebagai upaya kedepan mendongkrak harga lebih berpihak kepada petani. Betapa tidak, ratusan ton salak yang dihasilkan saban tahun hingga kini belum memberi efek taraf kesejahteraan kepada petani, padahal mereka sudah bekerja keras mengembangkan komoditi khas buah yang dikenal dengan sebutan fruit snake skin dimata turis manca negara. Ketua Kelompok Tani Dukuh Lestari I Wayan Suparta,mengatakan, untuk mengintensifkan upaya memproduksi Wine Salak sebagai salah satu alternatif mengolah produk salak, dibentuk wadah CV. Dukuh Lestari sehingga lebih fokus menangani masalah produksi wine. Sebagai salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Karangasem, potensi buah salak menjadi sangat berpeluang diolah hasilnya agar bisa meningkatkan nilai tambah. Harga salak yang selalu jatuh saat panen raya dan kurang stabilnya harga secara konvensional, maka diperlukan langkah terobosan untuk menolong petani salak sehingga bisa menikmati keuntungan lebih dari produksi salak yang dihasilkan. Dikatakan, kapasitas produksi wine salak yang diberi nama label Salaka Wine (Anggur Buah Salak) direncanakan 6000 liter /bulan dengan menyerap bahan baku salak per liter 4 Kg salak, total dibutuhkan salak sejumlah 18 ton salak. Dengan kadar alkohol 12 % wine salak Sibetan tergolong wine kelas B, telah mengawali produksi percobaan sebanyak 300 liter untuk produk promosi, souvenir dan kenangan, telah lolos uji menarik penggemar dari wisatawan sebagai wine satu-satunya di dunia yang diproduksi dari buah salak. Dari proses produksi hingga kemasan diperlukan waktu 3 – 6 bulan disimpan sebelumnya dalam tangki berkapasitas 1000 liter dan 750 liter. Nantinya diharapkan proses pengolahan wine salak dapat menyerap seluruh produk salak di Desa Sibetan dan luar Sibetan yang berjumlah jutaan pohon, dengan harga Rp. 5000 – Rp. 10.000 per Kg standart salak kelas I dan II. Jika dibandingkan harga dipasar saat panen raya hingga Rp. 1000 per Kg maka prospek harga salak untuk bahan baku wine jauh lebih tinggi dan sangat menguntungkan petani. Sedangkan harga sebotol wine dengan kemasan 750 ml seharga Rp. 95.000 sedangkan kemasan 350 ml senarga Rp. 45.000, tanpa bahan pengawet dan kimia. Adapun Ijin yang sudah dimiliki adalah : TDI, IPR, HO, UKL,UPL, TDP, SIUPP, SIUP MB, NPWP, SITU, IMB, MD, BPOM (13 jenis), Rekomendasi Disnaker dan Bea Cukai. Bupati Karangasem I Wayan Geredeg, SH mengatakan, salah satu produk unggulan khas Karangasem yang hendak dikemas dan dikembangkan sebagai salah satu ikon daerah adalah wine salak. Menyusul melimpahnya bahan baku salak maka upaya untuk memproduksi dilakukan sungguh-sungguh dengan melengkapi produsen dengan berbagai perijinan sehingga dapat diproduksi secara profesional guna bisa masuk dipasarkan dikalangan wisatawan dan masuk prospek eksport. Dengan kadar alkohol sekitar 21,5 % maka daya saing wine salak diperkirakan dapat digemari penikmat wine dikalangan hotel dan turis mancanegara. Jika hal ini bisa lancar diproduksi dibawah payung aturan yang legal, maka standart harga wine dan salak sebagai bahan baku dapat dipatok sesuai kesepakatan sehingga memberikan keuntungan bagi petani Khusus Wine Salak dikatakan Geredeg, untuk masalah perijinan yang sudah dipegang belakangan ditawar hingga 2 milyar rupiah oleh investor agar dapat ijin memproduksi miras, karena pemerintah sudah menutup ijin pembuatan minuman keras beralkhohol. Untuk itu Karangasem sangat bersyukur terakhir memperoleh ijin tersebut sehingga kini sudah mantap untuk mengembangkan wine salak khususnya. Ia berharap CV. Dukuh Lestari sebagai sentranya bisa mengembangkan jaringan produksi disetiap subak atau kelompoktani untuk menjadi pengolah wine yang nantinya dipayungi oleh Dukuh Lestari. Di Karangasem kini bahkan memiliki 12.000 perajin minuman tradisional (Arak) tersebar di beberapa kecamatan yang perlu dilindungi keberadaanya. Kebutuhan akan wine khususnya pasar hotel dan luar negeri masih sangat besar, untuk itu prospek tersebut harus ditangkap dan dimanfaatkan karena selama ini wine didatangkan dari Cina padahal kualitas Wine Karangasem seperti yang di buat D’Awe sudah berkualitas tinggi. Setelah diujicoba ternyata wine salak sangat digemari dan memiliki aroma khas yang tidak bisa didapatkan dari jenis salak lain kecuali salak Karangasem khususnya di sentral Sibetan Bebandem Karangasem. Ia optimis dengan melimpahnya bahan baku akan dapat diatasi kekawatiran keinambungan ketersediaan bahan baku terutama dimusim paceklik salak. Dengan penyerapan sekitar 50-60 ton per hari secara otomatis akan memberikan dampak terhadap harga salak untuk mengangkat kesejahteraan petani. Jika tanpa pengolahan maka sampai kapanpun produksi komoditi salak ini akan terus tenggelam tanpa memberi keuntungan yang baik bagi petani bahkan cenderung terbuang dimusin panen raya. Dengan demikian petani salak akan tertolong dari segi harga, namun disisi lain nilai tambah manufakture industri wine salak memberi keuntungan signifikan. Wine Salak diperjuangkan menjadi idola wine salak agar mampu sejajar dengan wine mancanegara yang berkelas dan memiliki trade mark saat ini. Alternatif pengolahan dalam bentuk wine merupakan satu-satunya pilihan yang memiliki prospek dan peluang bernilai tambah tinggi. Untuk itu produk olahan wine kini bahkan sudah memperoleh pengakuan pasca pengujian di Nusa Dua dan banyak digemari wisatawan. Jika produksi dan pemasaran nantinya sudah dapat digarap dengan baik, Ia optimis wine salak menjadi salah satu ikon wine khas Karangasem yang dicari wisatawan. Peran kelompok Untuk meningkatkan perolehan nilai tambah salak Kelompok Tani Kembang Lestari Desa Jungutan yang sudah mengantongi prestasi gemilang sebagai kelompok terbaik Juara I nasional, memiliki lahan pendukung tanaman salak seluas 250 Ha juga merintis pengembangan produk wine. Seperti diutarakan Ketua Kelompok I Ketut Latra, sejauh ini kelompok merasa tertarik dengan rencana itu. Pembuatan wine nantinya dapat menjadi alternatif dalam menjaga harga salak agar tidak jatuh khususnya pada musim panen raya. Namun karena panen salak 2 kali setahun dengan rata-rata produksi 6 ton per Ha merupakan potensi yang cukup untuk memasok bahan baku bagi pembuatan wine. Untuk investasi pengembangan wine diperkirakan menelan dana sekitar Rp. 500.000.000 dengan perangkat pabrik, gedung, alat tes alkohol serta kandungan kadar gula. Karena wine bisa disimpan makin lama makin baik maka tidak mungkin terjadi stagnasi, selain karena produksi salak bisa sepanjang tahun mengingat salak di Dusun Tanah Ampo justru melimpah saat daerah lain paceklik. Wine salak Karangasem selama ini sudah diproduksi dan ditawarkan di sejumlah toko, restoran serta sebagai souvenir bagi wisatawan. Namun karena banyaknya potensi salak dan lokasi luas diperlukan beberapa kelompok pengembang wine dengan satu pintu agent dan distributor, sehingga bisa lebih mudah dikendalikan.

0 komentar:

Posting Komentar